FC Barcelona

Selasa, 22 Desember 2015

Potensi Wisata Bersejarah di Daerah Semarang

Diposting oleh Unknown di 11.15 0 komentar
1. Klenteng Sam Poo Kong
Sejarah
Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong adalah sebuah petilasan, yaitu bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho.. Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".
Disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng - mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan cina sehingga mirip sebuah kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Padahal laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.
Menurut cerita, Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut jawa, namun saat melintasi Laut Jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk membuang sauh. Kemudian merapat ke pantai utara semarang untuk berlindung di sebuah Goa dan mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang di akibatkan pantai utara jawa selalu mengalami proses pendangkalan yang di akibatkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin bertambah luas kearah utara.
Konon, setelah Zheng He meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin dengan penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang ditempat itu. Zheng He memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam, di Klenteng ini juga terdapat Makam Seorang Juru Mudi dari Kapal Laksamana Cheng Ho.

Lokasi
Terletak di Jl. Simongan Raya No.129, Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah 50148.
Atraksi

Sejak Renovasi besar besaran tahun 2002 dan selesai 2005, yang menelah biaya 20 miliar, Sam Poo Kong menarik perhatian lebih banyak orang untuk berkunjung. Di halaman yang cukup luas di depan kelenteng, terdapat sejumlah patung, termasuk patung Laksamana Cheng Ho, yang cukup menarik untuk dinikmati. Di sinilah atraksi atraksi kesenian berupa tari tarian, barongsai atau bentuk kesenian lain digelar untuk memperngati hari hari bersejarah yang berhubungan dengan Cheng Ho atau budaya China.
Di bulan Agustus misalnya, selalu diadakan festival mengenang datangnya Cheng Ho ke Semarang. Untuk bulan Agustus 2009, festival diadakan tanggal 18 memperingati HUT ke604 kedatangan Cheng Ho.

Perayaan disertai dengan arak-arakan, bazaar, dan festival Barongsai. Hari hari besar lainnya yang dirayakan di sini termasuk di antaranya Hari Raya Imlek dan hari kelahiran Cheng Ho. Kedatangan turis asing, terutama dari China, menunjukkan bahwa Sam Poo Kong dikenal luas di dunia. Berdasarkan uang sedekah yang ditinggalkan pengunjung, Kuil Gedung Batu ini juga sering dikunjungi turis turis asing dari Amerika, Rusia, Brazil dan negara negara lain.

Tiket
Untuk wisatawan domestik dewasa dikenakan biaya Rp. 5000,- dan untuk anak-anak yang berumur di bawah tiga tahun gratis. Sementara untuk wisatawan asing harus membayar Rp. 10.000,-.

Sumber
http://seputarsemarang.com/klenteng-sam-po-kong-1356/
https://id.wikipedia.org/wiki/Klenteng_Sam_Po_Kong


2. Lawang Sewu

Lawang Sewu (bahasa Indonesia: seribu pintu) adalah gedung gedung bersejarah di Indonesia yang berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Gedung ini, dahulu yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu karena bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak, meskipun kenyataannya, jumlah pintunya tidak mencapai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).

Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Saat ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.
Sejarah
Bangunan Lawang Sewu dibangun pada 27 Februari 1904 dengan nama lain Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat NIS). Awalnya kegiatan administrasi perkantoran dilakukan di Stasiun Semarang Gudang (Samarang NIS), namun dengan berkembangnya jalur jaringan kereta yang sangat pesat, mengakibatkan bertambahnya personil teknis dan tenaga administrasi yang tidak sedikit seiring berkembangnya administrasi perkantoran.
Pada akibatnya kantor NIS di stasiun Samarang NIS tidak lagi memadai. Berbagai solusi dilakukan NIS antara lain menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai solusi sementara yang justru menambah tidak efisien. Apalagi letak stasiun Samarang NIS berada di dekat rawa sehingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting. Maka, diusulkanlah alternatif lain: membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal).
NIS mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangani di Amsterdam tahun 1903.

Lokasi
Komplek Tugu Muda, Jalan Pemuda, Jawa Tengah 13220, Indonesia.
Tiket

Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu

3. Gereja Blenduk

Gereja Blenduk (kadang-kadang dieja Gereja Blendug dan seringkali dilafazkan sebagai mBlendhug) adalah Gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh masyarakat Belanda yang tinggal di kota itu pada 1753, dengan bentuk heksagonal (persegi delapan). Gereja ini sesungguhnya bernama Gereja GPIB Immanuel, di Jl. Letjend. Suprapto 32. Kubahnya besar, dilapisi perunggu, dan di dalamnya terdapat sebuah orgel Barok. Arsitektur di dalamnya dibuat berdasarkan salib Yunani. Gereja ini direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan gedung gereja ini. Nama Blenduk adalah julukan dari masyarakat setempat yang berarti kubah. Gereja ini hingga sekarang masih dipergunakan setiap hari Minggu. Di sekitar gereja ini juga terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda.

Lokasi
Jl. Letjend. Suprapto No.32, Tanjungmas, Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah 10460, Indonesia.

Jam Ibadah
Sampai saat ini Gereja Blenduk masih digunakan untuk beribadah.
Pukul 06.00WIB Ibadah I.
Pukul 09.00WIB Ibadah II, Ibadah pelayanan anak (Pastori), Ibadah persekutuan Teruna (Pastori).
Pukul 17.00WIB Ibadah Pemuda.

Daftar pendeta
Berikut ini adalah daftar pendeta yang bertugas di gereja ini sejak gereja ini dibangun hingga saat ini. Daftar ini dapat ditemukan di inskripsi yang terdapat di dinding gedung gereja.

1. Johannes Wilhelmus Swemmelaar (1753 – 1760)
2. David Daniel van Vianen (1760 – 1762)
3. Simon Gideon (1762 – 1766)
4. Cornelius Coetzier (1766 – 1772)
5. Jonas van Pietersom Ramring (1767 – 1770)
6. Johannes Lipsius (1772 – 1776)
7. HermanusWachter (1777)
8. Fredericus Montanus (1778 – 1814)
9. Gottlob Bruckner (1814 – 1816)
10. Dr. Diederik Lenting (1816 – 1817)
11. Gerardus van den Bijllaard (1819)
12. Dr. Diederik Lenting (1819 – 1820)
13. Gerardus van den Bijllaard (1820 – 1821)
14. Dominicus Anne Manstra (1821-27 RIP)
15. Pieter van Laren (1828 – 1836)
16. Cornelis Pieter Lammers van Toorenburg (1836 – 1840)
17. Johannes Hendrik van Rossum (1840 – 1843)
18. Frederik Ulrich van Hengel (1843)
19. Hendrik Herman Schiff (1844 – 1847)
20. Jan Jurrien Scheuer (1847 – 1851)
21. Frederik Corneille van der Maar van Kulleler (1851 – 1864)
22. Frederik Ulrich van Hengel (1860 – 1871)
23. Pieter Leonard de Gaay Fortman (1864 – 1866)
24. Joseph Karel Kam (1866 – 1869)
25. Albert van Davelaar (1869 – 1873)
26. Barend Johannes Ovink (1871 – 1872)
27. Frederic Johan Jacobus Prins (1872 – 1875)
28. Caspar Adam Laurens van Trootensburg de Bruijn (1873)
29. Hendrik Sanders Balsem (1873 – 1874)
30. Haijte van Ameijdem van Duijm (1874 – 1885)
31. Barend Johannes Ovink (1875 – 1888)
32. Jan Faber (1885 – 1887)
33. Ijnze Radersma (1886 – 1889)
34. Haijte van Ameijdem van Duijm (1887 – 1890)
35. Willem Mallinckredt (1899 – 1894)
36. Dr.Wouterus van Lingen (1890 – 1895)
37. Cornelis Rogge (1892 – 1894)
38. Abraham Samuel Carpentier Alting (1895 – 1897)
39. Willem van Griethuijsen (1895 – 1897)
40. Dr.Wouterus van Lingen (1897)
41. Joan Frederic Verhoeff (1897 – 98)
42. Johan Hendrik Christiaan Israel (1898 – 1899)
43. Johannes Cornelis Ijsbrand Bussingh de Vries (1898 – 1900)
44. Joan Frederic Verhoeff (1899 – 1904)
45. Dr.Aart Christian van Leeuwen (1900 – 1904 RIP)
46. Johannes Cornelis Ijsbrand Bussingh de Vries (1904 – 1904)
47. Johan Hendrik Christiaan Israel (1903)
48. Jean Henri de Vries (1904 – 1907)
49. Dr.Wouterus van Lingen (1904 – 1906)
50. Ari Adama (1905 – 1905)
51. Joan Frederic Verhoeff (1907 – 1908)
52. Tonke Pilon (1908 – 1910)
53. Evert van Loon (1909 – 1910)
54. Richeld Willem Frans Kyftenbelt (1910 – 1911)
55. Georg Hennemann (1910 – 1911)
56. Johannes Mechtelinus Coops (1911 – 1912)
57. Abraham Hagedoorn (1911 – 1919)
58. Warner van Griethuysen (1912 – 1914)
59. Jan Brink (1914 – 1921)
60. Dirk Jacobus Leepel (1919 – 1920)
61. Bernardus Johannes Audier (1920 – 22)
62. Johannes Mechtelinus Coops (1921 – 1927)
63. Gerrit Jan Reindert Langen (1922 – 1928)
64. Johannes Arnoidus Rudolf Terlet (1927 – 1929)
65. Gijsbert Cornelis Anton Adriaan van den Wijngaard (1928 – 1930)
66. Bernardus Matthijs van Tangerloo (1930 – 1933)
67. Hermanus Sterrenga (1930 – 1931)
68. Johannes Matthijs Lindeijer (1931 – 1934)
69. Karel Frederik Creutzberg (1933 – 1934)
70. Jacques Louis Brinkerink (1934)
71. Cornelis Bastiaan Boere (1934 – 1936)
72. George Willem Cornelis Vunderink (1935 – 1941)
73. Wijsbrands Gerardus Redingius (1935 – 1940)
74. Karel Frederik Creutzberg (1936 – 1940)
75. Johana Hermina Stegeman (1940 – 1941)
76. Floris Egbertus van Leeuwen (1940 – 1943)
77. Johan Carel Hamel (1941 – 1942)
78. Eppa Smith (1945 – 1946)
79. Casper Spoor (1946 – 1949)
80. W.H.F. Ter Braak (1947 – 1949)
81. Eppa Smith (1949 – 1954)
82. de Haart (1954 – 1960)
83. Richard Palii (1954 – 1960)
84. Willem Bernard Warouw (1960 – 1963)
85. Augustinus Roberth Molle (1963 – 1967)
86. Jan Frederick Hattu (1967 – 1978)
87. Rein Robert Daada (1978 – 1984)
88. Yopie Hukom, S.Th. (1984 – 1988)
89. Theofilus Natumnea, S.Th. (1988 – 1992)
90. Rudolf Andreas Tendean, S.Th. (1992 – 1995)
91. Markus Kurami Tumakaka, S.Th. (1995 – 1998)
92. Meyer Meindert Pontoh, S.Th. (1998 – 2004)
93. Dra Ny M Nanlohy L, (2004 - 2009)
94. Robert Williem Maarthin S.Th M.Ag, (2009 - sekarang)
Tiket
Setiap pengunjung yang masuk tidak dipungut biaya.
Sumber
http://seputarsemarang.com/gereja-blenduk-kota-lama-1265/
https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Blenduk_Semarang


4. Toko Oen Restaurant
TOKO OEN merupakan salah satu restoran tertua di Indonesia dengan menu masakan Indonesia, Chinese food, serta Belanda. Restoran ini merupakan salah satu bangunan kuno di Kota Semarang. Bangunan Restoran Toko Oen ini tidak mempunyai halaman yang luas. Gang yang kosong di bagian timur bangunan digunakan sebagai tempat parkir disamping jalan depan restoran ini sendiri. Restoran Oen ini semula dimiliki oleh orang inggris bernama Grillroom. Kemudian pada tahun 1936 dibeli oleh Oen Tjoe Hok, kemudian diwariskan kepada Oen Liem Hwa. Sedangkan manager yang mengelola operasi restoran ini bernama Djoa Kok Tie. Restoran Oen terdapat di semua kota besar di Jawa, antara lain Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. Sehingga Restoran Oen yang ada di Semarang ini dikelola oleh keluarga Megaradjasa. Kini Restoran Oen selain sebagai rumah makan juga sebagai toko yang menjual roti. Bangunan ini masih terawat dengan baik, dan dilakukan beberapa perombakan khususnya pada bagian belakang bangunan.
Sejak berdiri 1936 hingga sekarang, bisa dikatakan tidak ada yang berubah dengan Toko Oen ini. Tempat yang berada di jalan Pemuda Semarang ini masih setia dengan masa silam. Tak heran, banyak orang berkata bilamasuk ke restoran tersebut serasa menembus lorong waktu, kembali ke masa lampau. Meski tak sepenuhnya benar, namun pengelola restoran ini, mempertahankan konsep lama meski telah melakukan penyesuaian di sana sini, termasuk dalam menambah luas area restoran tersebut yang kini luasnya mencapai sekitar 600 meter persegi ini. Bangunan Toko Oen ini sezaman dengan bangunan bangunan yang ada di Kota Lama. Sejak dulu banyak wisatawan dari Eropa yang datang ke tempat ini hanya untuk menikmati “Masa Lalu” di masa kini. Dan atas dasar itu pula, pengelola restoran ini, Jenny, bersama adiknya, Gilbert Megaradjasa dan juga beberapa pemerhati bangunan kuno seperti Kriswandhono mendirikan Oen Semarang Foundation yang akan berupaya melestarikan Kota Lama.

Alamat
Jl. Pemuda 52 Semarang 50138

Sumber
http://seputarsemarang.com/toko-oen-restaurants-with-dutch-chinese-indonesian-cuisine-7582/


5. Stasiun Tawang Semarang

Stasiun Semarang Tawang (kode SMT, +2) adalah stasiun induk di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Nama "Tawang" diambil dari nama kampung didekat stasiun ini yaitu Tawangsari. Stasiun ini merupakan rajanya jalur kereta api utara karena letaknya yang berada di tengah jalur utara. Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di Kota Semarang, Jawa Tengah, dan Daop 4 Semarang.
Stasiun ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia setelah Semarang Gudang dan diresmikan pada tanggal 19 Juli 1868 untuk jalur Semarang Tawang ke Tanggung. Jalur ini menggunakan lebar 1435 mm. Pada tahun 1873 jalur ini diperpanjang hingga Stasiun Solo Balapan dan melanjut hingga Stasiun Lempuyangan di Yogyakarta. Dulu, selain ada rel ke Stasiun Semarang Gudang, terdapat juga rel menuju Demak yang kini sudah tidak berguna lagi. Rencananya, jalur menuju ke Demak tersebut akan diaktifkan kembali dan perkiraannya akan selesai pada tahun 2015. Di sisi utara stasiun ini, juga akan dibangun terminal petikemas. Hal ini dilakukan guna mempermudah proses pengangkutan petikemas menuju ke Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
Bangunan luar Stasiun Semarang Tawang ini masih utuh menggunakan bangunan buatan Belanda dulu. Stasiun ini memiliki 7 jalur aktif. Jalur 1-4 berfungsi untuk persinggahan kereta api yang menaik turunkan penumpang di stasiun ini. Sementara jalur 5,6, dan 7 berfungsi untuk lewat kereta api yang melakukan perjalanan tanpa berhenti di stasiun ini. Jalur 1-5 di stasiun ini sudah diberi kanopi agar penumpang tidak kepanasan saat terik matahari dan basah kuyub saat hujan turun.
Stasiun ini merupakan stasiun yang sangat sibuk. Karena semua kereta yang melintasi jalur utara baik Eksekutif, Bisnis, maupun Ekonomi semua harus berhenti disini. Hanya Kereta api Jayabaya, Kereta api Tawang Jaya, dan Kereta Api Kedung Sepur yang tidak berhenti di stasiun ini. Dulunya, hanya kereta api kelas Eksekutif dan Bisnis yang berhenti di stasiun ini. Sementara kereta kelas ekonomi dan komuter berhenti di Stasiun Semarang Poncol.
Kereta api yang mengakhiri tujuannya di stasiun ini diantaranya adalah Kereta api Argo Muria (tujuan Stasiun Gambir), Kereta api Argo Sindoro (tujuan Stasiun Gambir), Kereta api Kamandaka (tujuan Stasiun Purwokerto), dan Kereta api Menoreh (tujuan Stasiun Pasar Senen).
Karena letaknya yang dekat dengan laut, stasiun ini sering menjadi korban banjir dan rob. Inilah yang menjadi momok besar di stasiun ini.
Lokasi
Letak stasiun ini tidak terlalu jauh dari pusat kota, kurang lebih 5 kilometer. Stasiun Semarang Tawang ini juga tidak jauh dari objek wisata Kota Lama dan Pasar Johar. Di depan stasiun ini terdapat kolam yang berguna untuk menampung air banjir di Kota Semarang bagian bawah yang sering disebut dengan sebutan Polder.

Keunikan
Stasiun ini mempunyai keunikan, yaitu jika saat musim kemarau stasiun ini memiliki ketinggian 2 m, namun tidak saat musim penghujan, yang turun hingga 0 m, karena stasiun ini sering terkena air rob saat musim hujan tiba. Keunikan lainnya yang ada di stasiun ini adalah lagu Gambang Semarang yang dimainkan dengan piano; menandai kereta akan datang.

Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Semarang_Tawang









Senin, 11 November 2013

Sejarah Drama di Indonesia

Diposting oleh Unknown di 17.39 0 komentar
A. Drama dan Teater
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.

B. Sejarah Perkembangan Drama di Indonesia
Sejarah perkembangan drama di Indonesia dipilah menjadi sejarah perkembangan penulisan drama dan sejarah perkembangan teater di Indonesia. Sejarah perkembangan penulisan drama meliputi:
1. Periode Drama Melayu-Rendah
2. Periode Drama Pujangga Baru
3. Periode Drama Zaman Jepang
4. Periode Drama Sesudah Kemerdekaan
5. Periode Drama Mutakhir.
Dalam Periode Melayu-Rendah penulis lakonnya didominasi oleh pengarang drama Belanda peranakan dan Tionghoa peranakan.
Dalam Periode Drama Pujangga Baru lahirlah Bebasari karya Roestam Effendi sebagai lakon simbolis yang pertama kali ditulis oleh pengarang Indonesia.
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama.
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra. Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.

C. Sejarah Perkembangan Teater di Indonesia
Istilah teater belum muncul di Indonesia pada tahun 1920-an. Istilah yang ada pada waktu itu adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda, Het Tonee)Istilah sandiwara konon diungkapkan kali pertama oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi berarti rahasia, dan wara atau warah yang berarti pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara, sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang (Harymawan, 1993:2). Pada masa itu, rombongan teater menggunakan nama Sandiwara sementara cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada zaman pendudukan Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah zaman kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006:34).
Achmad (2006) menjelaskan bahwa sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut teater, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata cara di mana teater tradisional lahir. Beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia antara lain adalah wayang, wayang wong (wayang orang), mak yong, randai, mamanda, lenong, longser, ubrug, ketoprak, ludruk, ketoprak, gambuh, dan arja.
Perkenalan Indonesia dengan teater modern terjadi pada periode yang disebut sebagai teater transisi. Teater transisi adalah penamaan oleh kelompok teater pada periode tersebut di mana teater tradisional mulai mengalami perubahan karena adanya pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong sebagai kelompok teater tradisional namun dengan penggarapan teknis yang telah mengadopsi unsur-unsur teknik teater Barat dinamakan sebagai teater bangsawan. Perubahan tersebut terutama terlihat jelas pada cerita yang sudah mulai dituliskan meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan), cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi, dan teknik pendukung pertunjukan yang mulai diperhitungkan.
Teater tradisional juga memperoleh pengaruh dari teater Barat yang mulai dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada tahun 1805. Teater produksi orang-orang Belanda tersebut kemudian berkembang pesat di Betawi (Batavia) dan mendorong didirikannya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater nontradisi dimulai ketika Agust Mahieu mendirikan Komedi Stamboel di Surabaya pada tahun 1891. Dalam pementasannya, Komedi Stamboel secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sejarah sastra, Indonesia mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon pertama oleh orang Belanda, F. Wiggers, berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901, kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913) dan lain-lainnya yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Teater pada masa kesusastraaan Angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual pada masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an.
Bentuk sastra drama yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antartokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Pujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana.
Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane, menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933). Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada masa pendudukan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya, masih sempat berpikir tentang perlu didirikannya Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno, dibentuk Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya (anggota). Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang pada masa pendudukan Jepang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang antibudaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Miss Ribut, Miss Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour, dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya, menulis lakon-lakon seperti Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti Komedi Bangsawan dan Bolero. Dengan cara ini, maka antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa, selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik.
Rombongan sandiwara Dewi Mada diperkuat oleh mantan bintang-bintang Bolero, yaitu Dewi Mada dan suaminya, Ferry Kok. Ferry Kok sekaligus menjadi pemimpin rombongan ini. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masih aktif di rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun 1943, rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia.



Perkembangan tahap awal
1. Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
2. Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
3. Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang sudah ada.
4. Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
5. Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
6. Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan tabu.
7. Sebagai pelipur lara.
8. Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
9. Melahirkan kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a. Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.
c. Tidak spesialis.
d. Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
10. Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a. Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga).
b. Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c. Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d. Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e. Wadah pengembangan ajaran agama.

PERIODISASI SASTRA INDONESIA DAN KARYANYA

Diposting oleh Unknown di 16.42 0 komentar
Indonesia kaya dengan karya sastra. mulai dari Periode Pujangga lama sampai angkatan 2000-an. nah untuk tahu lebih lanjut, saya paparkan semuanya dibawah ini.

1. PUJANGGA LAMA
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karya-kaya penting berbahasa melayu terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri.
· Karya sastra pujangga lama
1. Hikayat
- Hikayat Abdullah
- Hikayat Aceh
- Hikayat Amir Hamzah
- Hikayat Andaken Panurat
- Hikayat Bayan Budiman
- Hikayat Hang Tuah
- Hikayat Iskandar Zulkarnaen
- Hikayat Kadirun
- Hikayat Kalia dan Damina
- Hikayat masyidullah
- Hikayat Pandawa jaya
- Hikayat Panda Tonderan
- Hikayat Putri Djohar Munikam
- Hikayat Sri Rama
- Hikayat Jendera Hasan
- Tasibul Hikaya
2. Syair
- Syair Bidasari
- Syair Ken Tambuhan
- Syair Raja Mambang Jauhari
- Syair Raja Siam
3. Kitab Agama
- Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri
- Asrar Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri
- Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsudin Pasai.
- Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri.

2. SASTRA MELAYU LAMA
Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatra seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat.
· Karya Sastra Melayu Lama
- Robinson Crousoe (terjemahan)
- Lawan-lawan Merah
- Mengelilingi Bumi Dalam 80 Hari (terjemahan)
- Grauf de Monte Cristo (terjemahan)
- Rocambole (terjemahan)
- Nyui Dasima oleh G. Prancis (indo)
- Bung Rampai oleh A.F. Bewali
- Kisah Perjanan Nahkoda Bontekoe
- Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
- Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R. Komer (indo)
- Cerita Nyonya Kong Hong Nio
- Nona Leonie
- Warna Sari Melayu oleh Kat. S.J
- Cerita Si Conat oleh F.D.J

3. ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit “Bali Pustaka”. Prosa (roman, novel,cerpen, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, hikayat, dan kazhanah sastra di Indonesia pada masa ini
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan sastra melayu rendah yang tidak menyoroti pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam 3 bahasa yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda, dan dalam jumlah yang terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
“Nur Sultan Iskandar” dapat disebut sebagai “raja angkatan balai pustaka” karna karya-karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah novel Sumatera dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Pada masa ini novel “Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan” menjadi karya cukup penting, keduanya mengkritik adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
1. Merari Siregar
- Azab dan Sengsara (1920)
- Binasa Karna Gadis Priangan (1931)
- Cinta dan Hawa Nafsu
2. Marah Roesli
- Siti Nurbaya (1922)
- Laihami (1924)
- Anak dan Kemanakan (1956)
3. Muhammad Yamin
- Tanah Air (1922)
- Indonesia Tumpah Darahku (1928)
- Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
- Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
4. Nur Sultan Iskandar
- Apa Dayaku Karna Aku Seorang Perempuan (1923)
- Cinta Yang Membawa Maut (1926)
- Salah Pilih (1928)
- Tuba Dibalas Dengan Susu (1933)
- Hulubalung Raja (1934)
- Katak Hendak Menjadi Lembu.

5. Lulis Sutan Suti
- Tak Disangka (1923)
- Sengsara Membawa Nikmat (1928)
- Tak Membalas Guna (1932)
- Memutuskan Pertalian (1932)
6. Djamaluddin Adinegoro
- Dara Muda (1927)
- Asmara Jaya (1928)
- Abas Soetan Pamoentjak
- Pertemuan (1927)
7. Abdul Muis
- Salah Asuhan (1928)
- Pertemuan Jodoh (1933)
8. Aman Datuk Madjoindo
- Menebus Dosa (1932)
- Sicebol Merindukan Bulan (1934)
- Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)

4. PUJANGGA BARU
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elistik.
Pada masa itu, terbit pula majalah pujangga baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Karyanya layar terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tengelamnya Kapal Vander Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
Pada masa ini dua kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu :
1. Kelompok “Seni Untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah.
2. Kelompok “Seni Untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Rustam Effendi.
· Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
1. Sutan Takdir Alisjabana
- Dian Tak Kunjung Padam (1932)
- Tebaran Mega- kumpulan sajak (1935)
- Layar Terkembang (1936)
- Anak Perawan di Sarang Penyuman (1940)
2. Hamka
- Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
- Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939)
- Tuan direktur (1950)
- Di Dalam Lembah Kehidupan (1940)
3. Armijn Pane
- Jiwa Berjiwa Gamelan Djiwa- kumpulan sajak (1960)
- Djinak-djinak Merpati- sandiwara (1950)
- Kisah Antara Manusia (1953)
4. Sanusi Pane
- Pancaran Cinta (1926)
- Puspa mega (1927)
- Sandhykala Ning Majapahit (1933)
- Kertajaya (1932)
5. Tengku Amir Hamzah
- Nyanyi Sunyi (1937)
- Begawat Gita (1933)
- Setanggi Timur (1939)

5. ANGKATAN 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan “45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan “45 memiliki konsep yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang” konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan “45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Menguak Takdir dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
1. Chairil Anwar
- Kerikil Tajam (1949)
- Deru Campur Debu (1949)
2. Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
- Tiga Menguak Takdir (1950)
3. Idrus
- Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
- Aki (1949)
- Perempuan Dan Kebangsaan
4. Achdiat K. Mihardja
- Atheis (1949)
5. Trisno Sumardjo
- Katahati dan Perbuatan (1952)
6. Utuy Tatang Sontani
- Suling (drama) (1948)
- Tambera (1949)
- Awal dan Mira – drama satu babak (1962)
7. Suman Hs
- Kasih ta’ Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)

6. ANGKATAN 1950-1960-an
Angkatan ’50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah Asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kompulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (lekra) yang berkonsep sastra Realisme-Sosialis. Timbulnya perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di kalangan sastrawan Indonesia pada awal tahun 1960, menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karna masuk ke dalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 – 1960-an
1. Pramoedya Ananta Toer
- Keranji dan Bekasi Jatuh (1947)
- Bukan Pasar Malam (1951)
- Di Tepi Kali Bekasi (1951)
- Keluarga Gerilya (1951)
- Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)
- Cerita Dari Blora (1952)
- Gadis Pantai (1965)
2. Nh. Dini
- Dunia Dunia (1950)
- Hati Jang Damai (1960)
3. Sitor Situmorang
- Dalam Sadjak (1950)
- Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
- Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
- Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
- Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
4. Muchtar Lubis
- Tak Ada Esok (1950)
- Jalan Tak Ada Ujung (1952)
- Tanah Gersang (1964)
- Si Djamal (1964)
5. Marius Ramis Dayoh
- Putra Budiman (1951)
- Pahlawan Minahasa (1957)
6. Ajip Rosidi
- Tahun-tahun Kematian (1955)
- Di Tengah Keluarga (1956)
- Sebuah Rumah Untuk Hari Tua (1957)
- Cari Muatan (1959)
- Pertemuan Kembali (1961)
7. Ali Akbar Navis
- Robohnya Surau Kami- 8 cerita pendek pilihan (1955)
- Bianglala- kumpulan cerita pendek (1963)
- Hujan Panas (1964)
- Kemarau (1967)

7. ANGKATAN 1966 – 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Muchtar Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbitan Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Montiggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rusanto, Goenawan Mohamad, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia H.B. Jassin.
Beberapa sastrawan pada angkatan ini antara lain : Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C.Noer, Darmanto Jatman, Arif Budiman, Goenawan Muhamad, Budi Darma, Hamsat Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, DLL.
· Penulis Dan Karya Sastra Angkatan 1966
1. Taufik Ismail
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
- Tirani dan Benteng
- Buku Tamu Musim Perjuangan
- Sajak Ladang Jagung
- Kenalkan
- Saya Hewan
- Puisi-puisi Langit
2. Sutardji Calzom Bachri
- O
- Amuk
- Kapak
3. Abdul Hadi WM
- Meditasi (1976)
- Potret Panjung Pengunjung Pantai Sanur (1975)
- Tergantung Pada Angin (1977)
4. Supardi Djoko Damono
- Dukamu Abadi (1969)
- Mata Pisau (1974)
5. Goenawan Muhamad
- Perikesit (1969)
- Interlude (1971)
- Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Simalin Kundang (1972)
- Seks, Sastra, dan Kita (180)
6. Umar Kayam
- Seribu Kunang-kunang di Manhattan
- Sri Sumara dan Bawuk
- Lebaran Di Karet
- Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
- Kelir Tanpa Batas
- Para Priyayi
- Jalan Manikung
7. Danarto
- Godlob
- Adam Makrifat
- Berhala
8. Nasjah Djamin
- Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
- Gairah Untuk Hidup dan Mati (1968)
9. Putu Wijaya
- Bila Malam Bertambah Malam (1971)
- Telegram (1973) - Pabrik
- Stasiun (1977) - Gres dan Bom
8. ANGKATAN 1980 – 1990-an
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an antara lain adalah : Rami Sylado,Yudistria Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Aji Darma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Efendi Tarsyad, Noor Aini Cahaya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Huriko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya tokoh utama pada novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-kaya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih dan berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Wanita yang dikomandoi Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardanhi, Diah Hadaning, Yvonne De Fretes, dan Oka Rusmini.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 – 1990-an
1. Ahmadun Yosi Herfanda
- Ladang Hijau (1980)
- Sajak Penari (1990)
- Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
- Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
- Sembahyang Rerumputan (1997)
2. Y.B Mangunwijaya
- Burung-burung Manyar (1981)
3. Darman Moenir
- Bako (1983)
- Dendang (1988)
4. Budi Darma
- Olenka (1983)
- Rafilus (1988)
5. Sundhunata
- Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
6. Arswendo Atmowilito
- Canting (1986)

7. Hilman Hariwijaya
- Lupus – 28 novel (1986-2007)
- Lupus Kecil – 13 novel (1989-2003)
- Olga Sepatu Roda (1992)
- Lupus ABG – 11 novel (1995- 2005)
8. Dorothea Rosa Herliany
- Nyanyian Gaduh (1987)
- Matahari Yang Mengalir (1990)
- Kepompong Sunyi (1993)
- Nikah Ilalang (1995)
- Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
9. Gustaf Rizal
- Segi Empat Patah Sisi (1990)
- Segitiga Lepas Kaki (1991)
- Ben (1992)
- Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
10. Remy Silado
- Ca Bau Kan (1999)
- Kerudung Merah Kirmizi (2002)
11. Afrizal Malna
- Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
- Yang Berdiam Dalam Mikrofon (1990)
- Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
- Dinamika Budaya dan Politik (1991)
- Arsitektur Hujan (1995)
- Pistol Perdamaian (1996)
- Kalung Dari Teman(1998)

9. ANGKATAN REFORMASI
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaran politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdulrahman Wahid (Gusdur) dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi. Di rubik sastra harian Repoblika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubik sajak-sajak peduli Bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan angktan Reformasih merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses Reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra, puisi, cerpen dan novel pada masa itu. Bahkan penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep zamzam Noer, dan Hartono Beny Hidayat dengan media online: duniasastra.com-nya , juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
1. Widji Thukul
- Puisi Pelo
- Darman

10. ANGKATAN 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasih muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karna tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmad Yosi Herfanda, dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada 1990-an seperti Ayu Utami, dan Dhorotea Rosa Herliany.
· Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
1. Ayu Utami
- Saman (1998)
- Larung (2001)
2. Seno Gumira Ajidarma
- Atas Nama Malam
- Sepotong Senja Untuk Pacarku
- Biola Tak Berdawai
3. Dewi Lestari
- Supernova 1: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh (2001)
- Supernova 2.1: Akar (2002)
- Supernova 2.2: Petir (2004)
4. Raudal Tanjung Banua
- Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
- Ziarah Bagi Yang Hidup (2004)
- Perang Tak Berulu (2005)
- Gugusan Mata Ibu (2005)
5. Habiburrahman El Shirazy
- Ayat-ayat Cinta (2004)
- Di Atas Sajadah Cinta (2004)
- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
- Pudarnya Pesona Cleopatra(2005)
- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
- Dalam Mihrab Cinta (2007)
6. Andrea Hirata
- Laskar Pelangi (2005)
- Sang Pemimpi (2006)
- Edensor (2007)
- Maryamah Karpov (2008)
- Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
7. Ahmad Faudi
- Negeri Lima Menara (2009)
- Ranah Tiga Warna (2011)
8. Tosa
- Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
- Melan Conis (2009)



11. CYBERSASTRA
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi melalui buku namun termagtub di dunia maya (internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa sistus Sastra Indonesia di dunia maya misalnya: duniasastra.com.

Jumat, 01 November 2013

Indahnya Kematian

Diposting oleh Unknown di 09.15 0 komentar
Biarkan aku terbaring dalam lelapku,
kerana jiwa ini telah dirasuki cinta,
dan biarkan daku istirahat,
kerana batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang.
Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini,
dan taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar.
Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan wangian,
dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.
Biarku istirahat di ranjang ini,
kerana kedua bola mata ini telah teramat lelahnya;
Biar sajak-sajak bersalut perak bergetaran dan menyejukkan jiwaku;
Terbangkan dawai-dawai harpa dan singkapkan tabir lara hatiku.
Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku,
kerana makna ghaibnya begitu lembut bagai ranjang kapas tempat hatiku berbaring.
Hapuslah air matamu, saudaraku,
dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-bunga menyemai jari-jemarinya menyambut mahkota fajar pagi.
Lihatlah Kematian berdiri bagai kolom-kolom cahaya antara ranjangku dengan jarak infiniti;
Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.
Dekatilah aku, dan ucapkanlah selamat tinggal buatku.
Ciumlah mataku dengan seulas senyummu.
Biarkan anak-anak merentang tangan-tangan mungilnya buatku dengan kelembutan jemari merah jambu mereka;
Biarkanlah Masa meletakkan tangan lembutnya di dahiku dan memberkatiku;
Biarkanlah perawan-perawan mendekati dan melihat bayangan Tuhan dalam mataku,
dan mendengar Gema Iradat-Nya berlarian dengan nafasku..




Lebih Baik Saya Diam by Nazril Irham (Ariel)

Diposting oleh Unknown di 09.11 0 komentar
Jika saya bercerita sekarang
Maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya
…Dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya
Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi.
Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah, semua dapat memetik hal yang baik dari kemakluman itu, atau hanya akan mengikuti keburukannya
Maka saya lebih baik diam

Jika saya bersuara sekarang
Maka itu hanya akan membuat saya terlihat sedikit lebih baik
Dan beberapa lainnya terlihat sedikit lebih buruk sebenarnya
Maka lebih baik saya diam
Jika saya berkata sekarang

Maka akan hanya ada caci maki dari lidah ini
Dan teriakan kasar tentang kemunafikan
Serta cemoohan hina pada keadilan
Maka saya lebih baik diam

Saya hanya akan bercerita kepada Tuhan,
Bersuara kepada yang berhak,
Berkata kepada diri sendiri,
Lalu diam kepada yang lainnya,
Lalu biarkan seleksi Tuhan bekerja pada hati setiap orang.

Selasa, 21 Agustus 2012

Greyson Chance with Indonesian's Flag

Diposting oleh Unknown di 22.23 0 komentar
"HAPPY INDEPENDENCE DAY INDONESIA!!" greyson keliatan kece banget yaa *yaiyalah pacar gue getooh* haha -_-V

Beautiful Sunshine and City Lights

Diposting oleh Unknown di 20.49 0 komentar


 

Pramesti Rangga Siwi Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting